Senin, 29 Agustus 2016

Jurnal - Nyamuk Anopheles sp dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan

ABSTRACT
Abstract Malaria is an infectious disease that became a global health problem and is caused by Plasmodium sp which is transmitted through the bite of Anopheles sp . Subdistrict Rajabasa is one endemic region in southern Lampung district and located on the coast bordering the Sunda Strait . Writing this article aims to determine the type of Anopheles sp and the factors that influence using secondary data library as a source of data. Sundaicus main vector Anopheles that causes malaria in Sub Rajabasa and are found in the former shrimp ponds, swamps, puddles and ditches. Factors that affect the density of Anopheles sp in District Rajabasa include rainfall, water temperature, water depth, water flow, humidity, wind, altitude, sunlight, pH, salinity, dissolved oxygen, water plants and animals . 
Keywords : Anopheles sundaicus , district rajabasa,environmental factors, malaria

Abstrak 
Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan dunia dan disebabkan oleh Plasmodium sp yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. Kecamatan Rajabasa merupakan salah satu wilayah endemis di kabupaten lampung selatan dan berada di pesisir pantai yang berbatasan dengan selat sunda. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui jenis nyamuk Anopheles sp dan faktor yang mempengaruhi dengan menggunakan metode kepustakaan data sekunder sebagai sumber datanya. Nyamuk Anopheles sundaicus vektor utama penyebab malaria di Kecamatan Rajabasa dan banyak ditemukan di bekas tambak udang, rawa, genangan air dan selokan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan nyamuk Anopheles spdi Kecamatan Rajabasa antara lain curah hujan, suhu air, kedalaman air, Arus air, kelembapan udara, angin, ketinggian lokasi, sinar matahari, pH, salinitas air, oksigen terlarut, tumbuhan dan hewan air.
Kata kunci: Anopheles sundaicus, faktor lingkungan, kecamatan rajabasa,malaria




Source: http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/496

Kamis, 19 Mei 2016

Nama-nama dan jenis-jenis Enzim dalam Sistem Pencernaan



Enzim memiliki peran dalam proses pencernaan makanan. Sistem pencernaan merupakan suatu sistem yang berfungsi unrtuk memecah bahan makanan menjadi struktur yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tubuh. Sistem pencernaan yang mendapat bantuan enzim adalah pencernaan secara kimiawi. Pencernaan secara kimiawi merupakan proses pemecahan bahan makanan dengan bantuan enzim-enzim yang berasal dari kelenjar pencernaan. Berikut ini adalah nama-nama enzim atau jenis-jenis enzim yang berperan dalam sistem pencernaan makanan dan fungsinya.  

Saluran Pencernaan
Nama enzim dan fungsinya
Mulut (Kelenjar Ludah / Saliva)
  1. Enzim Ptialin (Amilase) berfungsi Memecah pati menjadi Maltosa
Lambung (Kelenjar Lambung)
  1. Enzim Renin berfungsi mengubah kaseinogen menjadi kasein
  2. Enzim Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi proteosa, pepton dan polipeptida
Pankreas (Saluran Pankreas)
  1. Enzim Karbohidrase Pankreas berfungsi untuk mencerna amilum menjadi maltosa atau disakarida lainnya.
  2. Enzim Lipase Pankreas berfungsi mengubah emulsi lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
  3. Enzim Tripsin berfungsi untuk mengubah protein menjadi polipeptida
Usus (Kelenjar Usus)
  1. Enzim Enterokinase (enzim khusus) berfungsi untuk mengubah Tripsinogen menjadi Tripsin yang digunakan dalam saluran pangkreas
  2. Enzim Maltase berfungsi untuk mengubah Maltosa menjadi Glukosa
  3. Enzim Laktase berfungsi untuk mengubah Laktosa menjadi Glukosa dan Galaktosa
  4. Enzim Sukrase berfungsi untuk mengubah Sukrosa menjadi Glukosa dan Fruktosa
  5. Enzim Paptidase berfungsi untuk mengubah polipeptida menjadi asam amino
  6. Enzim Lipase berfungsi untuk mengubah Lemak menjadi asam lemak dan Gliserol

GIGITAN ULAR

Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular 
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).

Jenis – jenis ular berbisa  

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
  • Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
  • Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
  • Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
  • Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:

Ciri – ciri ular berbisa:
  • Bentuk kepala segi empat panjang
  • Gigi taring kecil
  • Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
  • Kepala segi tiga
  • Dua gigi taring besar di rahang atas
  • Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
  • Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
  • Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

    1. Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

    1. Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
  • Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
  • Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
  • Gejala khusus gigitan ular berbisa :
    • Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
    • Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
    • Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
    • Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Derajat
Venerasi
Luka gigit
Nyeri
Udem/ Eritem
Tanda sistemik
0
0
+
+/-
<3cm>
0
I
+/-
+
+
3-12 cm/12 jam
0
II
+
+
+++
>12-25 cm/12 jam
+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok
III
++
+
+++
>25 cm/12 jam
++
Syok, petekia, ekimosis
IV
+++
+
+++
>ekstrimitas
++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
  • Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.
  • Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
  • Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
  • Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
  • Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae:
  • Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
  • Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
  • Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
  • Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
  • Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin
  • Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal
  1. Tanda gigi taring
  2. Nyeri lokal
  3. Pendarahan lokal
  4. Bruising
  5. lymphangitis
  6. Bengkak, merah, panas
  7. Melepuh
  8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum
Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
  • Perdarahan dari luka gigitan
  • Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell’s viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy” eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999)

    1. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
  • Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
  • Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
  • EKG
  • Foto dada
    1. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
  • Anafilasis
  • Trombosis vena bagian dalam
  • Trauma vaskular ekstrimitas
  • Scorpion Sting
  • Syok septik
  • Luka infeksi

    1. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
  • Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
  • Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
  • Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu – ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
  1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
      • Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
      • Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
      • Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
  1. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
      • Penatalaksanaan jalan napas
      • Penatalaksanaan fungsi pernapasan
      • Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
      • Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
      • Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
      • Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
      • Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
        • 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
        • 25-50 LD50 bisa Bungarus
        • 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
        • Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
  • Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
  • Derajat II: 3-4 vial SABU
  • Derajat III: 5-15 vial SABU
  • Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU






Pedoman terapi SABU menurut Luck
Derajat
Beratnya evenomasi
Taring atau gigi
Ukuran zona edema/ eritemato kulit (cm)
Gejala sistemik
Jumlah vial venom
0
Tidak ada
+
<>
-
0
I
Minimal
+
2-15
-
5
II
Sedang
+
15-30
+
10
III
Berat
+
>30
++
15
IV
Berat
+
<>
+++
15
Pedoman terapi SABU menurut Luck
  • Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
  • Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
        • Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
        • Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
  • Terapi suportif lainnya pada keadaan :
        • Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
        • Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
        • Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
        • Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
        • Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
        • Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
        • Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
        • Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
        • Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
  • Terapi profilaksis
        • Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
        • Beri toksoid tetanus
        • Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
  • Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
  • Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
  • Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak
  • Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
  • Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

Powered By Blogger

Cari Blog Ini