Minggu, 05 Oktober 2014

TRAUMA UROGENITALIA



Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal (kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ genitourinaria bukan cedera yang mengancam jiwa kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan pembuluh darah ginjal.

Cedera yang mengenai organ urogenitalia bisa merupakan cedera dari luar berupa trauma tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa truma tusuk maupun trauma tembus oleh peluru, harus difikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.

TRAUMA GINJAL

Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mendcederai ginjal.

Cedera ginjal dapat terjadi secara:
(1)   langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau
(2)   tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak.

Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.

Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.

Penderajatan Trauma Ginjal
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi:
(1)   cedera minor,
(2)   cedera major, dan
(3)   cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.

Pembagian sesuai dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal (terlihat pada tabel 6-1 dan Gambar 6-1). Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.



Derajat Jenis kerusakan
a.       Derajat I Kontusio ginjal / hematoma perirenal
b.      Derajat II Laserasi ginjal terbatas pada korteks
c.       Derajat III Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis
d.      Derajat IV Laserasi sampai mengenai sistem kalises ginjal
e.       Derajat V o Avulsi pedikel ginjal,mungkin terjadi trombosis arteria renalis Ginjal terbelah (shatered)

Diagnosis
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat:
1.      Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
2.      Hematuria
3.      Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
4.      Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5.      Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.

Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma major atau ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakukan ekslorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.

Klasifikasi trauma ginjal
A.  Kontusio ginjal terlihat kapsul ginjal masih utuh dan terdapat hematoma subkapsuler,
B.  Laserasi minor : terdapat robekan parenkim yang terbatas pada korteks ginjal,
C.  Laserasi parenkim sampai mengenai sistem kaliks ginjal,
D.  Fragmentasi ginjal (ginjal terbelah menjadi beberapa bagian),
E.  Ruptur pedikel ginjal.

Pencitraan
Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh klinik yang bersangkutan. Pemeriksaan pencitraan dimulai dari PIV (dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi ± 2 ml/kg berat badan) guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral.

Pembuatan PIV dikerjakan jika diduga ada
(1)   luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal,
(2)   cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan
(3)   cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan disertai syok

Pada beberapa klinik, dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menjukkan tanda hematuria mikroskopik tanpa disertai syok melakukan pemeriksaan ultrasonografi sebagai pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.

Jika PIV belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Pemeriksaan PIV pada kontusio renis sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal. Dalam keadaan ini pemeriksaan ultrasonografi abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma parenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusio renis yang cukup luas menyebabkan hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga memberikan gambaran sistem pelvikalises yang spastik atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem pelvikalises yang tak nampak pada PIV dapat pula terjadi pada ruptura pedikel atau pasien yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani pemeriksaan PIV.

Pada derajat IV tampak adanya ekstravasasi kontras, hal ini karena terobeknya sistem pelvikalises ginjal. Ekstravasasi ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalami fragmentasi (terbelah) pada cedera derajat V.

Di klinik-klinik yang telah maju, peranan PIV sebagai alat diagnosis dan penentuan derajat trauma ginjal mulai digantikan oleh CT scan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain itu pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya trauma pada organ lain.

Pengelolaan
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi.

Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah:
a.      Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, dan suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar hemoglobin darah, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urine serial.

Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi

b.      Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.

Penyulit
Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran sistem kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula reno-kutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.

TRAUMA URETER
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus urogenitalia. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Operasi endourologi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan Dormia, atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah digestif, atau bedah vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenik.

Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa: ureter terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus (robek), atau devaskularisasi karena banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.

Diagnosis
Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria pasca trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenik bisa diketemukan pada saat operasi atau setelah pembedahan.

Jika diduga terdapat kebocoran urine melaui pipa drainase pasca bedah, pemberian zat warna yang dieksresikan lewat urine, memberikan warna pada cairan di dalam pipa drainase atau pada luka operasi. Selain itu pemeriksaan kadar kreatinin atau kadar ureum cairan pipa drainase kadarnya sama dengan yang berada di dalam urine.

Pada pemeriksaan PIV tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada cedera yang lama mungkin didapatkan hidro-ureteronefrosis sampai pada daerah sumbatan.

Cedera ureter dari luar seringkali diketemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi karena cedera organ intraabdominal sehingga seringkali tidak mungkin melakukan pemeriksaan pencitraan terlebih dahulu.

Tindakan
Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter tergantung pada saat cedera ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter. Tindakan yang dikerjakan mungkin:
1.      Ureter saling disambungkan (anastomosis end to end)
2.      Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari, atau Psoas hitch)
3.      Uretero-kutaneostomi
4.      Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang lain)
5.      Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefrektomi.

TRAUMA BULI-BULI

Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis; sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian trauma pada bulibuli pada beberapa klinik urologi kurang lebih 2% dari seluruh truma pada sistem urogenitalia.

Etiologi
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.

Dalam keadaan penuh terisi urine, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasai urine ke rongga intraperitoneum.

Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transuretral (TUR Buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli. Ruptura buli-buli dapat pula terjadi secara spontan; hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli. Tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang menyebabkan kelemahan dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptura buli-buli spontanea.

Klasifikasi
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio buli-buli, cedera buli-buli ekstra peritoneal, dan cedera intra peritoneal. Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urine ke luar buli-buli.

Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli ekstraperitoneal kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-kadang cedera buli-buli intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur, darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tampak tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika.

Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.

Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.

Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa tidak ada perdarahan yang keluar dari muara uretra. Keluarnya darah ari muara uretra merupakan tanda dari cedera uretra. Jika diduga terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas di samping cedera pada buli-buli, sistografi dapat diperoleh melalui foto PIV.

Di daerah yang jauh dari pusat rujukan dan tidak ada sarana untuk melakukan sistografi dapat dicoba uji pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril ke dalam buli-buli sebanyak ± 300 ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli. Cara ini sekarang tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi atau menyebabkan robekan yang lebih luas.

Terapi
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7- 10 hari.

Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada bui-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparotomi.

Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 – 10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka ± 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan ruptur buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi. Apalagi jika ahli ortopedi memasang plat untuk memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus dialkukan penjahitan buli-buli guna menghindari tejadinya pengaliran urine ke fragmen tulang yang telah dioperasi.

Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urine. Sistografi dibuat pada hari ke-10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

Penyulit
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intra-peritoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa.

Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh sebelum 2 bulan.

TRAUMA URETRA

Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.

Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptura uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptura uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik.

Gambaran klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan per-uretram, yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma.

Perdarahan per-uretram ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine bercampur darah. Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urine. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah.

Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui uretra, guna mengetahui adanya ruptura uretra.

Ruptura Uretra Posterior
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta bulibuli akan terangkat ke kranial.

Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram (Gambar 6-5), Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis:
1.      Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
2.      Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea, sedangkan diafragma
urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
3.      Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut
rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum

Diagnosis
Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan. Ruptura uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa:
(1)   perdarahan per-uretram,
(2)   retensi urine, dan
(3)   pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrograd mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostato-membranasea.

Tindakan
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia.

Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk diversi urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic realigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca ruptura dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.

Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.

Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptura uretra adalah striktura uretra yang seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30% kasus disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna.

Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretroplasti ulangan.

Ruptura Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu uretra tercepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau ruptur total dinding uretra.

Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.

Pemeriksaan uretrografi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa.

Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4 - 6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra.

Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse. Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.

TRAUMA PENIS
Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, terkena mesin pabrik, ruptur tunika albuguinea, atau strangulasi penis. Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total) dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutan garam fisiologis kemudian disimpan di dalam kantung es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin dilakukan replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.

Fraktur Penis
Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis yang terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai rasa nyeri.

Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografi yaitu memasukkan kontras ke dalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albuginea.

Tindakan
Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika albuginea. Robekan yang cukup lebar jika tidak dilakukan evakuasi hematom dan penjahitan, dapat menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang menimbulkan perasaan nyeri pada penis dan bengkok sewaktu ereksi.

Strangulasi Penis
Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis.

Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Pada orang dewasa penjeratnya berupa logam, tutup botol, atau karet yang biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol (enuresis) atau bahkan secara tidak sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis.

Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah:
(1)   Memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis,
(2)   melingkarkan tali pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan seperti pada Gambar 6-7, atau
(3)   melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.

Truma genitalia eksterna
Trauma yang dapat terjadi pada genitalia eksterna berupa: avulsi, crushing, luka tajam, luka tumpul, atau luka bakar.

Avulsi
Avulsi adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Biasanya terjadi pada pekerja pabrik atau petani yang mempergunakan mesin pengolah ladang. Celana dan kulit skrotum atau kulit penis terjerat pada mesin yang sedang berputar. Pertolongan pertama adalah memberikan analgetika, sedatif, serta tranquiliser untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka dari debris dan rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air bersih dan kalau tersedia dengan garam fisiologis. Tidak diperkenankan menyikat jaringan dan melakukan irigasi dengan antiseptik.

Dilakukan debridement jaringan yang mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapat mungkin jangan terlalu banyak membuang kulit skrotum yang masih hidup, karena skrotum penting untuk membungkus testis. Jika kulit skroum yang tersisa tidak cukup untuk membungkus testis, dianjurkan membuat  kantong di paha atau di inguinal guna meletakkan testis. Kantong di inguinal lebih mudah membuatnya daripada kantong di paha, akan tetapi karena suhunya sama dengan suhu di dalam rongga abdomen, testis yang diletakkan di inguinal seringkali mengalami gangguan dalam proses spermatogenesis. Karena itu pada pasien yang masih muda, sebaiknya testis diletakkan pada kantong yang dibuat di paha.

Powered By Blogger

Cari Blog Ini