BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di era globalisasi saat ini, orang-orang telah disibukkan dengan
berbagai kegiatan yang cukup menyita waktu. Pekerjaan
kantor, bisnis, berdagang, dan berbagai jenis pekerjaan lainnya menyebabkan
seseorang seringkali melupakan hal yang penting bagi dirinya yakni kesehatan.
Kesehatan
merupakan salah satu hal yang sering dilupakan
oleh sebagian orang saat ini. Mereka mengabaikan kesehatan demi memenuhi
kepentingan lain, hingga
pada akhirnya berbagai
masalah kesehatan mereka rasakan.
Berbagai
usaha penyembuhan akan
dilakukan ketika seseorang mengalami
masalah kesehatan. Di
antara berbagai usaha tersebut adalah dengan pergi berobat ke dokter. Dengan
berobat ke dokter, seorang pasien dapat lebih paham dengan masalah kesehatan
yang dialaminya. Pasien dapat bertanya tentang masalah kesehatan kepada dokter
yang sedang menanganinya. Pada saat ini pula, seorang dokter akan menggali
berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan pasien.
Tidak
mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien. Pada
tahap ini diperlukan adanya hubungan saling
percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan saling pengertian. Dengan
terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang
benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit
pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien.
Salah
satu hal yang harus diperhatikan sebelum menggali keterangan dari pasien adalah
melakukan informed consent, yaitu persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Informed consent
dilakukan agar pasien terhindar dari
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medis tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien dan melindungi dokter terhadap kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medis modern bukan tanpa risiko, dan pada setiap tindakan medis ada melekat suatu risiko
(Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3).
Tidak semua pemikiran dokter dan pertimbangan
terbaik dari seorang dokter sejalan
dengan apa yang diinginkan oleh pasien.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor lain selain faktor medis yang harus
dipertimbangkan seperti
keuangan, psikis, agama dan pertimbangan keluarga (Hanafiah. 2009).
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1. Mengetahui
pengaruh komunikasi yang baik terhadap persetujuan tindakan medis
2. Mengetahui
bentuk-bentuk informed consent
BAB
II
ISI
2.1 Pengertian
Informed Consent
Informed
consent merupakan persetujuan yang diberikan
pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Dalam permenkes No. 589 tahun
1989, informed consent merupakan
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga pasien atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Apperbaum
seperti dikutip Guwandi (1993) menyatakan informed
consent bukan sekadar formulir persetujuan yang didapat dari pasien,
melainkan merupakan proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter pasien
merupakan dasar dari seluruh proses tentang
informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau
pendokumentasian dari apa yang telah disepakati.
2.2 Peran
Komunikasi yang
Baik terhadap Informed Consent
Komunikasi yang baik
antara dokter dan pasien merupakan faktor
pendukung diterimanya sebuah persetujuan tindakan medis. Seorang dokter yang
menjelaskan dengan baik dan diterima oleh pasiennya dengan jelas tentang
tindakan medis yang akan dilakukan, akan memudahkan dokter tersebut dalam memperoleh persetujuan
tindakan medis.
Baik kepada pasien
ataupun kepada keluarga pasien, informasi atau penjelasan perlu diberikan
secara jelas, mudah dimengerti dan diminta atau tidak diminta informasi
tersebut harus disampaikan. Hal yang perlu di sampaikan meliputi (what) apa yang perlu disampaikan, (when) kapan disampaikan, (who) siapa yang harus menyampaikan, dan
(which) informasi mana yang perlu
disampaikan.
Komunikasi yang efektif
dan baik kepada pasien, akan sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien.
Banyak hal-hal negatif
yang dapat dihindari, pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Pasien akan patuh
menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan
adalah untuk kepentingan dirinya dan percaya bahwa dokter akan membantu
menyelesaikan masalah kesehatannya.
2.3
Tiga elemen Informed consent
a.
Threshold
elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat
dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu
pemberi consent haruslah seseorang
yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk
membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki
kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat
keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap
(kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang
tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21
tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan
membuat keputusan menjadi terganggu.
b. Information elements
Elemen ini
terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Pengertian berdasarkan
pemahaman yang adekuat membawa
konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang kuat.
Dalam hal ini,
seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria
keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan
tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya risiko yang
”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna
dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subjektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang
dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus
memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah
mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami
nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar
sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
c.
Consent
elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang
dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak
menyetujui tawarannya.
Consent
dapat diberikan :
a. Dinyatakan secara
lisan (expressed)
Adalah
persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan
dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan biasa. Dalam hal ini,
seorang dokter sebaiknya memberi tahu tindakan apa yang akan dilakukan kepada
pasien.
b. Dinyatakan
secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di
kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang berisiko
memengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.
c. Tidak
dinyatakan (implied)
Pasien tidak
menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku
(gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti,
namun consent jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang
yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil
darahnya.
2.4 Proxy Consent
Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang
bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa
yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak.
Umumnya urutan orang yang dapat
memberikan proxy consent adalah
suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
2.5
Konteks dan Informed Consent
Suatu persetujuan tindakan medis tidak berlaku pada 5
keadaan :
a. Keadaan darurat
medis
b. Ancaman
terhadap kesehatan masyarakat
c. Pelepasan hak
memberikan consent (waiver)
d. Clinical
privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat
dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent).
e. Pasien yang
tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali memengaruhi pola
perolehan informed consent. Seorang
yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk
dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak
dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan
medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada
pasien tentang keadaan sakitnya.
2.6
Keluhan
pasien tentang proses informed consent
Banyak
keluhan yang di rasakan oleh pasien ketika mendapat informed consent dari dokter, seperti:
a.
Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan
terlalu teknis.
b.
Perilaku dokter yang terlihat
terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
c.
Pasien sedang dalam keadaan stress
emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi.
d.
Pasien dalam keadaan tidak sadar atau
mengantuk.
2.7
Keluhan
dokter tentang informed consent
Tidak hanya pasien yang mengeluh terhadap penerapan informed consent, tetapi dokter
menyatakan hal yang sama yaitu:
a. Pasien tidak
mau diberitahu.
b. Pasien tak
mampu memahami.
c. Risiko terlalu
umum atau terlalu jarang terjadi.
d. Situasi gawat
darurat atau waktu yang sempit.
BAB III
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah
1. Komunikasi yang efektif diperlukan
dalam melaksanakan persetujuan tindakan medis
2. Ada tiga elemen dasar dalam
persetujua tindakan medis yaitu threshold
element, information element, dan
consent element
3. Persetujuan tindakan medis dapat
diberikan secara lisan (expressed),
tulisan maupun tidak dinyatakan (implied)
4. Pasien yang menyetujui tindakan medis harus seorang yang dewasa dan
kompeten
BAB IV
SARAN
Persetujuan tindakan medis (informed consent) merupakan salah satu
komunikasi yang diperlukan dalam tindakan medis. Oleh karena itu, diharapkan
kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis untuk melakukan persetujuan
tindakan medis (informed consent),
hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diingikan dalam
proses tindakan medis, baik untuk
kepentingan dokter itu sendiri maupun pasien. Komunikasi yang baik akan
mempermudah dokter dalam meminta persetujuan tindakan medis (informed consent) kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Jusuf dan Amir, amri.
2009. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan, Ed 4. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta.
KKI
Lestari, E.G dan Maliki, M.A. 2003. Komunikasi Efektif. Jakarta. Lembaga Administrasi Negara.
LAMPIRAN
0 komentar:
Posting Komentar